Halaman

Sabtu, 19 September 2009

KUPU-KUPU KEMATIAN (cerpen)

Radio tua di sudut ruangan berdesis memecah keheningan malam, orkes semut di dalamnya bersahut-sahutan berteriak seakan kelaparan meminta jatah gula. Ahmad seorang jurnalis lepas sebuah majalah ternama di Ibukota terlihat sangat kumal dan kotor menunggu inspirasi mengisi otaknya yang berjubal dengan berbagai masalah kehidupan. Meja kerjanya sangat berantakan dan jorok, tumpahan kopi hitam yang menggenang di salah satu sudut mejanya seperti danau saja. Kalender yang ia dapat dari kampanye tahun lalu sudah penuh dengan coretan deadline. Sampai pukul 12 malam ia memandangi bulan dari fentilasi jendelanya yang lapuk dimakan rayap, tak kunjung inspirasi atau setitik ide gila yang muncul di otaknya. Tegukan kopi pahit terakhirnya membuatnya ingin meneguknya terus menerus. Ia genggam handphone dan menyetel alarm berjaga agar ia dapat bangun tepat saat adzan subuh berkumandang. Segeralah ia menyelimuti tubuhnya berharap mendapatkan inspirasi di dalam tidurnya.
Putih dan hitam sangat kontras mengisi mimpinya yang hampa. Pahitnya perjalanan mimpi bahkan sampai tidak bisa mengisi lembaran HVS setitikpun. Ahmad terbangun mendengar alarm handphonenya dan bergegas bangun utuk menjalankan kewajibannya menghadap Allah SWT. Raganya seakan mengecil saat menghadapnya, tidak seperti biasanya saat dia bergelut dengan keringat dan menahan emosi ketika meliput aksi demonstrasi mahasiswa yang berkoar atas nama rakyat untuk memberantas korupsi, seakan mereka bersih dari tindakan seperti itu. Lihat saja saat mereka di semprit Polantas karena melanggar rambu, tanpa basa basi pasti mereka memilih “damai” dengan memberikan uang 20 ribu rupiah ke tangan Polantas tersebut. Setelah berdoa sejenak lantas Ahmad mengambil Alquran kecil di rak bukunya yang berjubal akan ilmu dunia yang tiada habisnya. Langit seakan bisu, bumi seakan tuli, seorang jejaka muda setelah sholat subuh masih menyempatkan diri untuk menbaca ayat suci Alquran dimana orang lain yang seumuran dengan dirinya sedang enak-enaknya tidur sambil berliur. Setelah tiga halaman terbaca ia segera mandi untuk menyegarkan tubuhnya yang lusuh karena semalaman begadang tiada arti untuk mencari secuil inspirasi.
Segarnya pagi tak sebanding dengan sarapan mi instan yang sama setiap paginya. Seolah sudah terbiasa Ahmad melahapnya seperti makanan khas eropa dengan rasa yang lumayan hambar. Beranjak ia ke sebuah bangku di taman dekat rumahnya dan membawa beberapa kertas kosong, barang kali kejatuhan inspirasi saat melamun memandangi rumah pemberian orangtuanya itu. Tiba-tiba ia melihat kupu-kupu cantik hinggap di jendela kamarnya, membuatnya teringat akan cerita dari ayahnya. Tanpa sadar ia menulis di kertas-kertas yang ia bawa.


********************

Seekor kupu-kupu dengan sayap warna-warni masuk ke kamarku melalui ventilasi jendela. Ia terbang berputar di atasku sejenak lantas hinggap dengan anggun di atas meja. Aku beranjak pelan-pelan dari ranjang agar dia tak kabur. Kududuk di depannya, menatapnya lekat-lekat seperti seorang sahabat lama.
Aku : Hai kupu-kupu! Bisa kita bicara?
Kupu-kupu: Eh manusia, mau apa kau?
Aku : Aku kagum padamu.Andai aku adalah kau.
Kupu-kupu: Hal bodoh apa yang membuatmu ingin jadi aku?
Aku : Aku ingin pergi sejauh-jauhnya dari sini, tanpa ada rasa takut sedikitpun.
Kupu-kupu: Takut? Takut apa kau? Tak ada yang berbahaya disini.
Aku : Ada! Ada mahluk yang menerorku tiap saat bahkan dalam mimpi.
Kupu-kupu : Aku tidak datang kesini untuk mendengar ceritamu. Melainkan untuk membawa berita bahwa kau ada tamu istimewa untukmu hari ini.
Aku : Tamu? Aku tak butuh tamu!
Terdengar suara derak kunci, gagang diputar dan pintu pun dibuka. Kupu-kupu terkejut lalu terbang tanpa memperdulikan panggilanku. Dia telah berdiri di sampingku, seperti biasa dengan setelan baju putihnya. Dia Satu-satunya manusia baik yang takkan menyakitiku.
”Mbak Sofi, hari ini kedatangan tamu istimewa. Mbak pasti sangat menantikan kedatangannya.Dia tamu yang baik. Dia pasti akan menolong mbak.”
Aku berjengit dan menggeleng cepat-cepat. Aku tak suka tamu, perempuan itu lalu menggandengku dengan lembut, mengajakku keluar. Aku menepisnya, tubuhku sontak gemetar. Tahukah ia banyak manusia jahat di luar sana. Para monster yang siap menerkamku.
”Jangan takut mbak. Saya kan menemani, Mbak akan baik-baik saja..”
Ia kembali menggandengku.Aku sungguh takut tapi selama bersamanya aku yakin aku akan aman. Pelan-pelan kami keluar. Dan di sepanjang lorong itu, para monster seolah berbaris menyambutku. Wajah-wajah mereka menyeringai,siap menerkam. Suara mereka seperti petir bersahutan, memekakkan telinga. Kusembunyikan kepalaku di balik ketiak perempuan itu. Kututup mataku rapat-rapat.
Mendadak suasana jadi hening. Kuberanikan diri untuk mengintip, ternyata kami telah sampai pada batas lorong berupa pintu dari jeruji-jeruji besi. Kurapatkan tubuhku pada perempuan itu saat ia bicara pada dua lelaki berwajah mengerikan. Seorang dari mereka membuka gembok besar pintu, dan seorang lain membuka pintunya.
Kami berbelok ke kiri lalu tibalah kami di depan sebuah ruangan lalu Ia mengajakku masuk. Disana duduklah seorang laki-laki di depan sebuah meja, membelakangiku. Akupun lalu duduk berhadapan dengannya.
”Mbak, saya tunggu di luar, tidak akan lama.” Aku menggeleng cepat dan menarik tangannya agar tak pergi, tapi aku tak bisa mencegahnya. Pintu pun ditutup, laki-laki di depanku masih menunduk. Kutarik kedua kakiku keatas, kutekuk dan kupeluk dengan kedua tanganku. Aku bertanya-tanya, mau apa gerangan dia. Kalau dia bermaksud jahat, aku akan melawannya. Ia mendongak, rupanya wajahnya tengah bersimbah air mata. Ia meneliti wajahku lama sekali. Aku risih dipandangi lelaki asing yang wajahnya tak terurus itu.
”Kau tak ingat aku, dik? Aku suamimu,Johan, yang sudah 2 tahun kautunggu kepulangannya. Ingatkah kau, aku jadi TKI di Malaysia?”
Aku memainkan jemariku. Bicara apa orang ini? Suami? Ah! Dasar gila!
”Dik Sofi,baru 2 jam yang lalu aku pulang ke rumah kita.Dan orang tuamu menceritakan padaku apa yang telah terjadi padamu 6 bulan lalu. Sungguh dik, aku menyesal meninggalkanmu.”
Dia menangis. Astaga! Drama apa yang barusan dimainkan lelaki aneh ini? Bicaranya tak keruan. Aku bosan.
”Dik!” Tiba-tiba tangan laki-laki itu diatas bahuku. Matanya yang sembab bertemu dengan mataku. Ia lalu mengguncang bahuku keras-keras.Aku gemetar. Dia menyakitiku. Aku menjerit dan melawannya.
”Ingat dik! Ingat anak perempuan kita, Indah! Indah! Kau ingat bagaimana dokter telah membunuhnya dengan tragis?”
Aku terpaku.Indah, sepertinya nama itu pernah kukenal. Anak perempuan? dokter membunuhnya dengan tragis? Mendadak kepalaku sakit sekali. Bayangan-bayangan yang sering menganggu tidurku kembali muncul, berkelebatan seperti siluet film. Aku terduduk dan menjerit sekeras-kerasnya.

*****

Aku berada di sebuah lorong di rumah sakit. Aku beserta beberapa perawat sedang buru-buru membawa Indah dengan kasur beroda menuju ruang operasi. Kata dokter anakku terkena radang usus, sehingga harus segera dioperasi. Sepanjang lorong itu, Indah menggenggam tanganku dengan erat. Ia sangat ketakutan tapi aku meyakinkannya bahwa dia akan baik–baik saja. Operasi pun dilakukan. Kedua orang tuaku yang tinggal di luar kota menjenguk. Mereka marah karena aku terlambat mengabari.
Adegan berganti. Kali ini di sebuah ruang UGD di rumah sakit yang berbeda. Tubuh anakku melemah pasca operasi seminggu yang lalu. Padahal seharusnya keadaannya membaik. Dokter bilang usus anakku kena infeksi, dan beberapa jam kemudian nyawanya tak tertolong, Aku menangis, meratapi nasibnya. Sementara ayahku bilang aku harus melaporkan dokter yang telah membedah anakku ke polisi. Semua itu karena kelalaiannya. Ia telah membunuh Indah.
Ruang UGD menciut, berubah menjadi sebuah ruang dokter di rumah sakit tempat anakku dioperasi. Dua minggu yang lalu aku sudah mengadukan dokter itu ke polisi. Sayangnya, polisi lamban mengusut kasus itu. Lantas disinilah aku beserta kedua orang tuaku,meminta pertanggungjawabannya. Dokter itu hanya tersenyum sinis tanpa mau melihatku. ”Maaf bu, ibu tak bisa menuntut saya karena bukti telah jelas-jelas menunjukkan bahwa ibulah yang terlambat membawa anak ibu ke rumah sakit. Jadi, lebih baik ibu terima saja kenyataan.”
Aku terdiam, sungguh tak percaya apa yang dokter itu katakan. Jadi, menurut pihak rumah sakit, ini kesalahanku, sama sekali bukan kesalahan mereka. Aku teringat diriku yang sibuk bekerja sebagai kasir di sebuah mini market demi memenuhi kebutuhan aku dan anakku. Suamiku sudah 8 bulan tak mengirimi kami uang. Tiga hari anakku terbaring sakit di rumah.

*******

Aku merasakan sebuah sentuhan lembut di pipiku. Kubuka mata, dan mendapati perempuan itu di berdiri di sampingku, tersenyum. Disebelahnya ada lelaki paruh baya yang juga memakai setelan baju putih.
“Beri dia obat satu jam lagi.” Kata lelaki itu dengan tegas.
”Baik dokter.” Perrempuan itupun segera mengiyakannya.
Lelaki yang dipanggil dokter itu pun pergi. Kepalaku masih terasa berat. Aku mencoba bangkit, Perempuan itu menolongku dan memasang sebuah bantal sebagai sandaran punggungku. Ia lalu duduk di sampingku.
”Mbak baik-baik saja? Suami mbak sudah pergi. Ia tampak sangat menyesal.”
Aku sama sekali tak memperhatikannya. Aku menatap langit-langit. Hatiku terasa sakit tapi aku tak tahu apa yang telah terjadi padaku.
”Mbak tahu, kurasa kita punya satu kesamaan yang membuat kita bisa dekat seperti ini. Kita sama-sama pernah kehilangan seorang anak. Tapi aku lebih beruntung, bisa menerima kenyataan pahit itu.”
Aku hendak bertanya kapan aku punya anak, tapi mendadak dalam kepalaku muncul suara-suara. Aku harus menuliskannya seperti biasa. Aku memberi tanda padanya agar memberikanku sebuah buku dan pena yang tergeletak diatas meja. Ia menyodorkanku barang-barang itu tanpa banyak tanya.
Maka terbangkanlah kupu-kupu ke kamarku
Kerlipkanlah warna-warni lampu dari sayapnya
Dan biarkan ia putari langit-langit
Membentuk angin lembut, membawa serta hangatnya mentari pagi yang ia curi barusan
Biarkan kulama-lama menatapnya
Karena bila pintu terbuka
Nyata akan mengoyak-ngoyak
Hingga aku terpuruk di pasir rapuh
Dan meraung,meminta kembali sang imaji
Kali ini saja
Kujadi hantu tanpa peduli ini itu.

Aku tersenyum pada puisi tanpa judul yang barusan kucipta. Kubalik halaman demi halaman buku dan baru menyadari bahwa sudah puluhan puisi yang aku tulis. Wau! Jika puisiku dibukukan lalu terjual laris, aku akan punya banyak uang. Aku akan punya kekuasaan. Lalu aku akan menyewa berkompi-kompi pasukan untuk menjagaku. Tak ada yang bisa mengusikku, bila aku berbuat salah, aku bisa mengambinghitamkan orang lain, sementara aku sendiri kabur ke luar negeri.

********************

Ahmad menghela nafasnya dengan panjang bersyukur pada Allah SWT memberikan inspirasi lewat kupu-kupu yang hinggap dijendela kamarnya. Deadline cerpen untuk majalah ternama itu pun sudah tak perlu ia pikirkan lagi. Teringat akan tokoh cerita itu ia mengunjungi rumah sakit jiwa tempat “Mbak Sofi” di rawat. Tokoh “Mbak Sofi” adalah penjaga kasir mini market milik Almarhum ayah Ahmad. Kegemarannya adalah membelikan anaknya permen berbentuk kupu-kupu yang terjual didepan mini market, dan menurut informasi dari warga sekitar beberapa hari yang lalu pedagang permen itu di tangkap polisi karena diketahui permen yang ia jual mengandung zat berbahaya bagi usus manusia. Saat Ahmad menjenguknya, ia sedang bermain dengan sebuah boneka perempuan yang cantik dan tertawa sambil berulang mengatakan, “Kupu-kupu kenapa engkau pergi? Hey kupu-kupu, mana anakku?"…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar