Halaman

Senin, 24 Juni 2013

Malam

Malam tidak pernah serumit pagi,,
Malam tidak pernah sepadat siang,,
Malam tidak pernah sepadan sore,,

Dan cuma malam yang selalu menginspirasi,,

Tapi bukan berarti hidup dimalam hari sepandai pagi,siang, atau sore,,

Malam seharusnya waktu terindah untuk bermimpi indah

Minggu, 23 Juni 2013

Kado Hari Pendidikan Indonesia!


Selamat ulang tahun Bapak Pendidikan Indonesia. Di bulan ini Bapak lahir, di bulan ini juga disebut dengan bulan pendidikan, tapi maafkan Dunia Pendidikan kami telah memberikan kado terburuk sepanjang sejarah pendidikan Indonesia. Carut marut UU PT, Susahnya kuliah dengan adanya UKT, Kisruh Ujian Nasional, pro kontra Kurikulum 2013, dan permasalahan pendidikan lainnya adalah kado terburuk itu.

“Ibarat tubuh, agar tahan terhadap berbagai macam penyakit, haruslah daya imunitasnya ditingkatkan, satu di antara upayanya adalah melalui vaksinasi. Dalam perspektif sosial kemasyarakatan ada tiga penyakit sosial yang sangat besar dampak negatifnya yaitu (i) kemiskinan; (ii) ketidaktahuan; dan (iii) keterbelakangan beradaban. Bagaimana caranya menaikkan daya tahan (imunitas) sosial agar terhindar dari ketiga macam penyakit tersebut? Jawabannya adalah pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan dapat menjadi vaksin sosial.”
“Selain sebagai vaksin sosial, pendidikan juga merupakan elevator social untuk dapat meningkatkan status sosial. Dua hal itulah yang melatarbelakangi tema peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun ini, yaitu “Meningkatkan Kualitas dan Akses Berkeadilan”. Kita memerlukan vaksin dan elevator sosial itu sehingga kita terhindari dari tiga penyakit tersebut dan sekaligus mampu meningkatkan status sosial.”
           
            Diatas adalah kutipan sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada perayaan hari Pendidikan Nasional. Bagaimana masyarakat tidak bisa terhindar dari tiga penyakit tersebut? (i) Rakyat miskin karena dimiskinkan oleh pendidikan, (ii) Rakyar tidak tahu karena di tutup akses pendidikannya,(iii) rakyat mengalami keterbelakangan peradaban karena dibodohkan oleh sistem pendidikannya.
            Pendidikan pasti identik dengan tenaga pengajar ataupun pemimpin. Di Indonesia tenaga pengajar di sebut guru, yang dalam anekdot bahasa jawa “digugu lan ditiru” dalam bahasa Indonesia berartikan “sebagai panutan dan sebagai contoh”. Hal ini lah yang harus dilaksanakan oleh semua guru ataupun Pemimpin bangsa ini. Kenapa dikatakan pemimpin sebagai guru juga? Karena pemimpin juga sebagai panutan bagi rakyatnya.
Ing ngarso sung tuladha, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Inilah semboyan pendidikan yang di gagas oleh Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara. Dalam dunia pendidikan maka semboyan itu menggambarkan peran seorang guru atau pendidik. Kumpulan peran yang cukup lengkap, yaitu: menjadi teladan, memberikan semangat/motivasi, dan memberikan kekuatan. Apabila semboyan itu dilaksanakan maka akan memberikan pengaruh positif terhadap anak didiknya.
Ing ngarsa sung tuladha, berarti seorang Guru dan pemimpin harus mampu menjadi contoh bagi siswanya, baik sikap maupun pola pikirnya. Anak akan melakukan apa yang dicontohkan oleh gurunya, bila guru memberikan teladan yang baik maka anak akan baik pula perilakunya. Dalam hal ini, guru harus selalu memberikan pengarahan dan mau menjelaskan supaya siswa menjadi paham dengan apa yang dimaksudkan oleh guru.
Ing madya mangun karsa, berarti bila guru berada di antara siswanya maka guru tersebut harus mampu memberikan inspirasi dan motivasi bagi siswanya, sehingga siswa diharapkan bisa lebih maju dalam belajar. Jika guru selalu memberikan semangat kepada siswanya, maka siswa akan lebih giat karena merasa diperhatikan dan selalu mendapat pikiran - pikiran positif dari gurunya sehingga anak selalu memandang ke depan dan tidak terpaku pada kondisinya saat ini. Semboyan ini dapat diwujudkan dengan cara diskusi, namun syarat yang harus dipenuhi adalah semua siswa atau mayoritas siswa harus paham atau menguasai materi diskusi. Jika siswa tidak menguasai maka diskusi tidak akan berlangsung, karena hanya akan berlaku semboyan pertama yaitu ing ngarso sung tuladha,yang didepan memberi contoh.
Tut wuri handayani berarti, apabila siswa sudah paham dengan materi, siswa sudah pandai dalam banyak hal maka guru harus menghargai siswanya tersebut. Guru diharapkan mau memberikan kepercayaan bahwa siswa dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Guru tidak boleh meremehkan kemampuan siswa. Semboyan ini diwujudkan dengan pemberian tugas, ataupun belajar secara mandiri atau pengayaan.
 Jika dimasukkan dalam konteks kepemimpinan maka semboyan tersebut akan menciptakan seorang pemimpin yang disegani dan berwibawa karena menggambarkan seorang pemimpin yang mampu menempatkan diri dimanapun dia berada namun tetap berwibawa.
Pemimpin harus mau bertindak demokratis, tidak selalu otoriter meskipun pada saat-saat tertentu memang dibutuhkan gaya pimpinan yang otoriter, karena tidak selamanya manusia mau diatur oleh pimpinan namun tidak mungkin juga dilepas tanpa aturan jika anggota tersebut tidak memiliki kesadaran yang tinggi. Pemimpin diharapkan mampu beradaptasi baik secara horizontal maupun vertikal. Yaitu penempatan diri ketika bersama dengan para pemimpin, maupun saat bersama pimpinan atau anggota yang dipimpinnya.
Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan lebih dari bawahannya. Boleh jadi mungkin kelebihan di bidang pengalaman kerja atau prestasi maupun bidang lain. Seorang pemimpin akan terlihat prima ketika mampu memberikan motivasi dan orangnya komunikatif. Menjadi pemimpin tidak perlu ditakuti namun disegani atau kharismatik.

Demikian pula dalam sebuah lembaga pendidikan, kepala sekolah merupakan seorang pemimpin yang seharusnya mampu melaksanakan apa yang menjadi filosofi dari semboyan yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara tersebut, begitu pula guru ketika di dalam kelas merupakan pemimpin yang akan dianut oleh anak didiknya.