Selamat ulang tahun Bapak Pendidikan Indonesia. Di bulan ini Bapak
lahir, di bulan ini juga disebut dengan bulan pendidikan, tapi maafkan Dunia
Pendidikan kami telah memberikan kado terburuk sepanjang sejarah pendidikan
Indonesia. Carut marut UU PT, Susahnya kuliah dengan adanya UKT, Kisruh Ujian
Nasional, pro kontra Kurikulum 2013, dan permasalahan pendidikan lainnya adalah
kado terburuk itu.
“Ibarat tubuh, agar tahan terhadap
berbagai macam penyakit, haruslah daya imunitasnya ditingkatkan, satu di antara
upayanya adalah melalui vaksinasi. Dalam perspektif sosial kemasyarakatan ada
tiga penyakit sosial yang sangat besar dampak negatifnya yaitu (i) kemiskinan;
(ii) ketidaktahuan; dan (iii) keterbelakangan beradaban. Bagaimana caranya
menaikkan daya tahan (imunitas) sosial agar terhindar dari ketiga macam
penyakit tersebut? Jawabannya adalah pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan
dapat menjadi vaksin sosial.”
“Selain sebagai vaksin sosial,
pendidikan juga merupakan elevator social untuk dapat meningkatkan status
sosial. Dua hal itulah yang melatarbelakangi tema peringatan Hari Pendidikan
Nasional tahun ini, yaitu “Meningkatkan Kualitas dan Akses Berkeadilan”. Kita
memerlukan vaksin dan elevator sosial itu sehingga kita terhindari dari tiga
penyakit tersebut dan sekaligus mampu meningkatkan status sosial.”
Diatas adalah kutipan sambutan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada perayaan hari Pendidikan
Nasional. Bagaimana masyarakat tidak bisa terhindar dari tiga penyakit
tersebut? (i) Rakyat miskin karena dimiskinkan oleh pendidikan, (ii) Rakyar
tidak tahu karena di tutup akses pendidikannya,(iii) rakyat mengalami
keterbelakangan peradaban karena dibodohkan oleh sistem pendidikannya.
Pendidikan
pasti identik dengan tenaga pengajar ataupun pemimpin. Di Indonesia tenaga
pengajar di sebut guru, yang dalam anekdot bahasa jawa “digugu lan ditiru” dalam bahasa Indonesia berartikan “sebagai
panutan dan sebagai contoh”. Hal ini lah yang harus dilaksanakan oleh semua guru
ataupun Pemimpin bangsa ini. Kenapa dikatakan pemimpin sebagai guru juga?
Karena pemimpin juga sebagai panutan bagi rakyatnya.
Ing ngarso
sung tuladha, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Inilah semboyan pendidikan yang di gagas oleh Bapak Pendidikan
Indonesia, Ki Hajar Dewantara. Dalam dunia pendidikan maka semboyan itu
menggambarkan peran seorang guru atau pendidik. Kumpulan peran yang cukup
lengkap, yaitu: menjadi teladan, memberikan semangat/motivasi, dan memberikan
kekuatan. Apabila semboyan itu dilaksanakan maka akan memberikan pengaruh
positif terhadap anak didiknya.
Ing ngarsa sung tuladha, berarti seorang
Guru dan pemimpin harus mampu menjadi contoh bagi siswanya, baik sikap maupun
pola pikirnya. Anak akan melakukan apa yang dicontohkan oleh gurunya, bila guru
memberikan teladan yang baik maka anak akan baik pula perilakunya. Dalam hal
ini, guru harus selalu memberikan pengarahan dan mau menjelaskan supaya siswa
menjadi paham dengan apa yang dimaksudkan oleh guru.
Ing madya mangun karsa, berarti bila
guru berada di antara siswanya maka guru tersebut harus mampu memberikan
inspirasi dan motivasi bagi siswanya, sehingga siswa diharapkan bisa lebih maju
dalam belajar. Jika guru selalu memberikan semangat kepada siswanya, maka siswa
akan lebih giat karena merasa diperhatikan dan selalu mendapat pikiran -
pikiran positif dari gurunya sehingga anak selalu memandang ke depan dan tidak
terpaku pada kondisinya saat ini. Semboyan ini dapat diwujudkan dengan cara
diskusi, namun syarat yang harus dipenuhi adalah semua siswa atau mayoritas
siswa harus paham atau menguasai materi diskusi. Jika siswa tidak menguasai
maka diskusi tidak akan berlangsung, karena hanya akan berlaku semboyan pertama
yaitu ing ngarso sung tuladha,yang didepan memberi contoh.
Tut
wuri handayani berarti, apabila siswa sudah paham dengan
materi, siswa sudah pandai dalam banyak hal maka guru harus menghargai siswanya
tersebut. Guru diharapkan mau memberikan kepercayaan bahwa siswa dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik. Guru tidak boleh meremehkan kemampuan siswa.
Semboyan ini diwujudkan dengan pemberian tugas, ataupun belajar secara mandiri
atau pengayaan.
Jika
dimasukkan dalam konteks kepemimpinan maka semboyan tersebut akan menciptakan
seorang pemimpin yang disegani dan berwibawa karena menggambarkan seorang
pemimpin yang mampu menempatkan diri dimanapun dia berada namun tetap
berwibawa.
Pemimpin harus mau
bertindak demokratis, tidak selalu otoriter meskipun pada saat-saat tertentu
memang dibutuhkan gaya pimpinan yang otoriter, karena tidak selamanya manusia
mau diatur oleh pimpinan namun tidak mungkin juga dilepas tanpa aturan jika
anggota tersebut tidak memiliki kesadaran yang tinggi. Pemimpin diharapkan
mampu beradaptasi baik secara horizontal maupun vertikal. Yaitu penempatan diri
ketika bersama dengan para pemimpin, maupun saat bersama pimpinan atau anggota
yang dipimpinnya.
Seorang
pemimpin harus memiliki kemampuan lebih dari bawahannya. Boleh jadi mungkin kelebihan di bidang pengalaman
kerja atau prestasi maupun bidang lain. Seorang pemimpin akan terlihat prima
ketika mampu memberikan motivasi dan orangnya komunikatif. Menjadi
pemimpin tidak perlu ditakuti namun disegani atau kharismatik.
Demikian pula dalam sebuah lembaga pendidikan,
kepala sekolah merupakan seorang pemimpin yang seharusnya mampu melaksanakan
apa yang menjadi filosofi dari semboyan yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara
tersebut, begitu pula guru ketika di dalam kelas merupakan pemimpin yang akan
dianut oleh anak didiknya.